Desak Mahkamah Agung Perintahkan PN Meulaboh untuk Eksekusi Perusahaan Pembakar Lahan

Desak Mahkamah Agung Perintahkan PN Meulaboh untuk Eksekusi Perusahaan Pembakar Lahan

Dimulai
9 Mei 2018
Mempetisi
Mahkamah Agung dan
Kemenangan
Petisi ini membuat perubahan dengan 217.613 pendukung!

Alasan pentingnya petisi ini

Dimulai oleh Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh

Masih ingat kasus PT. Kallista Alam (PT. KA)? Perusahaan pembakar hutan gambut di Rawa Tripa, Kabupaten Nagan Raya, Aceh, yang telah divonis hingga tingkat Mahkamah Agung (MA) dan diharuskan membayar denda sebesar 366 Milyar untuk ganti rugi ke kas negara dan pemulihan kerusakan kawasan gambut akibat dari perbuatan jahatnya?

Tiga tahun sejak keputusan itu ditetapkan, bukannya melaksanakan putusan pengadilan dan membayar denda, PT. Kalista Alam justru meminta ‘perlindungan hukum’ dari Pengadilan Negeri (PN) Meulaboh dan menggugat balik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dengan dalih kesalahan koordinat lahan Hak Guna Usaha (HGU) atau error in objecto.

Parahnya, Hakim Ketua PN Meulaboh yang memimpin persidangan justru mengabulkan permintaan ‘perlindungan hukum’ dan mengabulkan gugatan tersebut. Pada 12 April 2018, PN Meulaboh mengabulkan gugatan PT. KA dan menyatakan bahwa putusan MA nomor 651 K/Pdt/2015 yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht) tidak mempunyai titel eksekutorial (tidak bisa dieksekusi) terhadap PT. KA dan juga menyatakan pembakaran hutan dalam kawasan gambut yang dimaksud tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban hukumnya kepada PT Kallista Alam.

Keputusan Ketua Majelis Hakim PN Meulaboh, Said Hasan, yang secara hierarki berada di bawah MA ini, mengundang tanda tanya, bagaimana mungkin keputusan MA bisa begitu saja dianulir oleh pengadilan negeri ataupun pengadilan tinggi ?

Di dalam putusannya, Majelis Hakim PN Meulaboh juga membebaskan PT KA dari segala tanggung jawabnya untuk mengganti rugi dan memulihkan lahan yang terbakar. Padahal, kesalahan koordinat yang digugatkan hanyalah sebagian lahan dan secara fakta Majelis Hakim telah melakukan sidang ditempat lokasi pembakaran.

Seharusnya lagi, PT KA tidak boleh melakukan gugatan baru atas kasus yang sudah berkekuatan hukum tetap apalagi mempersalahkan koordinat lahan yang sudah diperiksa dari tingkat PN Meulaboh, Pengadilan Tinggi Banda Aceh hingga Mahkamah Agung.

Lebih mengejutkan lagi, dalam periode Januari 2013 - Desember 2017, sebanyak 193 titik api terdeteksi dan 60 hektar hutan hilang di dalam konsesi PT. KA. Dalam berita yang diterbitkan oleh Foresthints.news pada 7 Mei 2018, KLHK menemukan bukti bahwa PT Kallista Alam terus mengeksploitasi lahan yang sudah mereka bakar dan membuat kanal baru. Sungguh keterlaluan, ketika proses hukum masih berjalan, pembakaran hutan dan eksploitasi terus mereka lakukan.

Bila keputusan akhir dari MA bisa dengan mudah dianulir oleh sebuah pengadilan negeri, mau dibawa kemana hukum Indonesia? Bila ini dibiarkan, perusahaan lain tidak akan takut melanggar aturan lingkungan hidup karena konsekuensi hukum bisa dengan mudah dipermainkan. Jika gagal melakukan eksekusi putusan PT KA, maka akan menciptakan preseden buruk terhadap hukum lingkungan Indonesia.

Pada tahun 2014, PT Kallista Alam dinyatakan bersalah karena dengan sengaja membakar 1.000 hektar lahan hutan gambut di Rawa Tripa, Nagan Raya, Aceh. Lahan gambut Tripa adalah bagian dari Kawasan Ekosistem Leuser yang dinyatakan sebagai Kawasan Strategis Nasional karena fungsi lingkungannya oleh pemerintah pusat. 

Pembakaran ini menciptakan emisi yang besar dengan melepaskan jutaan ton karbon yang telah lama tersimpan di dalam  gambut. Sebelumnya, Tripa dikenal sebagai ‘Ibukota Orangutan Dunia’ dan sekitar 3.000 individu orangutan sumatra pernah hidup di kawasan ini. Setelah pembakaran lahan oleh PT KA, hanya 100 sampai 150  individu yang tersisa.

Demi kepastian hukum yang berkeadilan, mari bersama-sama kita mendesak Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk membatalkan putusan 16/Pdt.G/2017/PN.Mbo sekaligus memerintahkan PN Meulaboh melaksanakan eksekusi terhadap PT. KA sesuai dengan putusan perkara no. 1 PK/PDT/2017 jo. Putusan no. 651 K/Pdt/2015 jo putusan no. 50/PDT/2014/PT BNA jo. Putusan no. 12/PDT.G/2012/PN.MBO -- untuk membayar biaya pemulihan lingkungan sebesar Rp 366 miliar.

Suara kita atas permohonan eksekusi merupakan kontribusi kita bagi pemulihan lingkungan untuk keadilan bagi generasi yang akan datang dan pembangunan berkelanjutan.


Salam berkeadilan,

Lingkungan yang baik untuk semua.

Gerakan Rakyat Aceh Menggugat (GeRAM)


Foto oleh Paul Hilton menunjukkan api yang melahap hutan gambut Rawa Tripa di Nagan Raya, Aceh.

English version 

Kemenangan

Petisi ini membuat perubahan dengan 217.613 pendukung!

Sebarkan petisi ini

Sebarkan petisi ini secara langsung atau gunakan kode QR untuk materimu sendiri.Unduh Kode QR